Wilispost.com – Produk olahan daging kini menjadi salah satu jenis produk yang berkembang pesat di industri pangan Indonesia. Produk-produk ini umumnya kaya akan gizi, terutama protein. Contoh produk olahan daging yang banyak dikonsumsi masyarakat meliputi sosis, kornet, ham, dan lainnya. Produk-produk ini mudah ditemukan di berbagai tempat seperti minimarket, pasar, hingga warung.

Masyarakat cenderung memiliki minat besar terhadap produk olahan daging karena berbagai keunggulannya, seperti cita rasa yang lezat, daya tahan yang lama, serta penampilannya yang menarik. Namun, di balik keunggulan tersebut, penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) tidak dapat dihindari. Salah satu BTP yang umum digunakan dalam pengolahan daging adalah nitrit.

Peran Nitrit dalam Produk Olahan Daging

Nitrit digunakan dalam industri pengolahan daging sebagai penstabil warna. Tujuan utamanya adalah memberikan warna merah khas pada daging olahan, seperti yang terlihat pada sosis dan kornet. Secara alami, warna merah keunguan pada daging disebabkan oleh myoglobin, yang dapat berubah ketika terpapar oksigen. Warna merah terang atau oksimioglobin sering diinginkan konsumen. Oksimioglobin terbentuk melalui proses oksigenasi myoglobin saat daging berada di lingkungan beroksigen. Agar warna merah terang ini tetap stabil, diperlukan nitrit sebagai BTP.

Kontroversi dan Risiko Penggunaan Nitrit

Penggunaan nitrit dalam produk olahan daging sering kali menimbulkan kontroversi terkait keamanannya. Nitrit merupakan BTP sintetis, sehingga dosis penggunaannya harus sangat diperhatikan. Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan, batas maksimum penggunaan kalium nitrit atau natrium nitrit pada produk olahan daging, unggas, dan hewan buruan dalam bentuk utuh atau potongan adalah 30 mg/kg.

Penggunaan nitrit yang berlebihan dapat menyebabkan kondisi serius, seperti methemoglobinemia pada anak-anak. Methemoglobinemia adalah kondisi di mana kemampuan darah mengangkut oksigen terganggu, yang dapat memicu gejala seperti kulit biru, pucat, sesak napas, muntah, hingga syok. Oleh karena itu, penggunaan nitrit harus sesuai dengan batas yang ditetapkan oleh BPOM.

Peran Konsumen dalam Pengawasan

Selain peraturan yang ketat, konsumen juga perlu berperan aktif dalam memperhatikan kandungan BTP, khususnya nitrit, pada produk pangan yang akan dibeli. Langkah ini penting untuk mencegah risiko kesehatan, seperti methemoglobinemia, serta menjaga keamanan konsumsi produk olahan daging.

Daftar Pustaka

  • Habibah, N., Dhyanaputri, S., Karta, I. W., & Deiw, N. N. (2018). Analisis Kuantitatif Kadar Nitrit dalam Produk Daging Olahan di Wilayah Denpasar Dengan Metode Griess Secara Spektrofotometri. International Journal of Natural Sciences and Engineering, 2(1), 1–9.
  • Indrawati, I., Safirany, M. Z., & Hidayati, N. R. (2021). Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Kandungan Nitrit dalam Kornet yang Dijual di Pasar Kota Cirebon. Journal of Pharmacopolium, 4(1), 28–35.
  • Islamiati, D., Baharuddin, A., & Idris, F. P. (2023). Identifikasi Kandungan Nitrat dan Nitrit dalam Sosis pada Distributor Sosis di Kota Makassar. Window of Public Health Journal, 4(4), 669–677.
  • BPOM. (2019). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan.
  • Rusdi, Zulharmita, & Nurrohman, I. S. (2015). Analisis Pengawet Nitrit pada Daging Sapi dengan Spektrofotometri UV-VIS. Jurnal Farmasi Higea, 7(1), 101–110.

Kontributor: Najwa Nur Athiyah, Mahasiswa Teknologi Pangan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Share.