Wilispost.com – Bullying, menurut UNICEF, adalah pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang melakukan bullying sering kali berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer, sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bullying atau perundungan adalah tindakan mengganggu, menjahili, membuat susah, atau menyakiti orang lain secara fisik atau psikologis. Bullying bisa dilakukan secara verbal, sosial, atau fisik, dan dapat terjadi secara terus-menerus.
Bullying dapat terjadi di mana saja, seperti di sekolah, tempat kerja, lingkungan sosial, atau bahkan di dunia maya. Bullying bisa dilakukan oleh perorangan atau kelompok.
Baca Juga:
Perundungan biasanya dilakukan oleh orang yang lebih kuat atau memiliki status sosial yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer.
Kata bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu “bull,” yang berarti banteng. Mungkin menurut Anda, bullying adalah hal yang sepele, tetapi tidak bagi mereka yang menjadi korban. Berdasarkan pengertian yang saya lampirkan di beberapa sumber di atas, jelas bahwa bullying sangat berbahaya untuk masa depan. Kasus perundungan ini terjadi di berbagai negara, salah satunya Indonesia, dan kebanyakan terjadi di sekolah.
Kasus perundungan di Indonesia, menurut data dari web sekolahmuridmerdeka.id, terbanyak berupa bullying fisik hingga 55,5%, diikuti dengan bullying verbal 29,3%, dan bullying psikologis mencapai 15,2%. Tingkat perundungan paling banyak terjadi di jenjang pendidikan SD, yaitu 26%, diikuti jenjang SMP 25%, dan siswa SMA 18,75%. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang tahun 2023. Data ini meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan 226 kasus pada 2022, 53 kasus pada 2021, dan 119 kasus pada 2020. Ironisnya, kasus bullying terus meningkat dari tahun ke tahun.
Masa sekolah yang seharusnya menjadi masa yang indah, kenyataannya tidak begitu bagi sebagian anak. Masa sekolah hanya menjadi waktu penuh ketakutan, kecemasan, dan penderitaan akibat perundungan dan intimidasi. Sebagian korban perundungan bahkan putus sekolah, seperti yang saya baca dari website Tekno Tempo yang melaporkan 700 anak SMP di Pandeglang putus sekolah akibat bullying dan kekerasan seksual.
Tidak hanya itu, ada juga kasus siswa SMA yang dibuli hingga masuk rumah sakit jiwa, yang dilaporkan oleh Detik News, hingga KPAI menyoroti perlindungan sekolah. Ketika saya duduk di bangku SMP, saya juga menyaksikan kasus bullying yang membuat korban keluar dari sekolah, bahkan saya sendiri pernah menjadi korban bullying saat masih di SD.
Beberapa faktor penyebab bullying, menurut website Alodokter, antara lain:
- Pernah melihat orang lain melakukan kekerasan.
- Kesalahan pola asuh keluarga yang terlalu keras.
- Pernah menjadi korban bullying.
- Kurang mendapat perhatian dari keluarga dan orang di sekitarnya.
- Ingin memiliki kekuasaan dan memegang kendali.
- Ingin dianggap populer.
- Kurang edukasi dan empati.
Itulah beberapa faktor penyebab bullying yang menurut saya benar, karena pernah terjadi dalam kehidupan saya. Sekarang, stop menganggap sepele hal ini karena sangat berbahaya bagi masa depan korban perundungan. Mereka bisa merasa takut untuk bersekolah dan melanjutkan masa depan yang diinginkan. Mental mereka bisa rusak, bahkan hingga harus masuk rumah sakit jiwa. Mari bersama-sama memutuskan rantai perundungan yang sedang terjadi, dengan melihat masalah ini dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari satu sisi.
Jika bukan kita yang memulai, siapa lagi yang akan memutuskan rantai ini? Harapan para korban hanya kepada kita, yang tidak terkena dampaknya. Meskipun mental mereka mungkin sudah terganggu dan masa depannya hancur, setidaknya mereka tidak akan lagi mengalami perundungan dan bisa hidup dengan aman. Mari bangkitkan semangat mereka dengan berteman baik, tidak melihat status sosial, saling mendukung, dan menggandeng tangan mereka satu per satu agar masa depan mereka terwujud. Bagaimana caranya? Dengan tidak memandang status sosial, mengajarkan anak-anak untuk menghargai perbedaan, memberi tahu mereka bahwa perundungan itu buruk, selalu mendampingi korban, tidak bertindak kasar, memberikan rasa perlindungan yang aman, dan menyosialisasikan dampak buruk bullying.