Bogor – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut “jangan takut deforestasi” serta menyamakan perkebunan sawit dengan hutan karena keduanya sama-sama memiliki daun hijau dan menyerap karbon menuai kritik dari kalangan akademisi. Ahli kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Arya Hadi Dharmawan, menanggapi pernyataan tersebut dengan menulis surat terbuka yang menegaskan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan menolak penyederhanaan fungsi hutan hanya sebatas penyerapan karbon.
Dalam surat yang beredar luas di media sosial, Prof. Arya menyampaikan keresahannya terhadap cara pandang yang terlalu menyederhanakan fungsi hutan. Ia menegaskan bahwa hutan tidak hanya soal karbon, tetapi juga memiliki fungsi ekologis yang jauh lebih kompleks, termasuk menjaga keanekaragaman hayati, mengatur tata air, serta menjadi tempat hidup bagi berbagai satwa liar dan masyarakat adat.
“Kalau sekadar berdaun hijau dan menyerap karbon, maka pohon kelor juga berdaun hijau dan menyerap karbon, Pak. Kita tidak sedang bicara karbon saja ketika membahas hutan. Hutan itu lebih besar dari sekadar karbon,” tulis Prof. Arya dalam suratnya yang dilansir oleh Wilispost.com Rabu (8/1/25).
Perbedaan Hutan dan Perkebunan Sawit
Prof. Arya menjelaskan bahwa hutan alami memiliki keanekaragaman hayati yang tidak bisa digantikan oleh perkebunan sawit. Hutan adalah habitat bagi berbagai spesies satwa liar seperti orangutan, harimau, gajah, burung, hingga serangga. Selain itu, hutan juga menyediakan sumber daya alam seperti tanaman obat yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Sebaliknya, perkebunan sawit bersifat monokultur, yang berarti hanya ditanami satu jenis tanaman dalam jumlah besar. Kondisi ini membuat keanekaragaman hayati berkurang drastis dan hanya memungkinkan hidupnya beberapa spesies tertentu seperti ular kobra, tikus, dan burung hantu. Prof. Arya menilai bahwa menyamakan sawit dengan hutan hanya karena berdaun hijau adalah penyederhanaan yang keliru.
“Ini tidak apple to apple, Pak Presiden. Perkebunan sawit mengabdi pada kepentingan kapital dan investasi ekonomi, sedangkan hutan mengabdi pada kelestarian alam dan kehidupan sosial,” tegasnya.
Peringatan tentang Deforestasi
Dalam suratnya, Prof. Arya juga mengingatkan bahwa deforestasi yang tidak terkendali dapat membawa dampak buruk bagi lingkungan dan manusia. Ia menyoroti bahwa penggundulan hutan bisa menyebabkan bencana alam seperti banjir dan pemanasan global, serta mengancam keberlangsungan spesies tumbuhan dan hewan langka.
Lebih lanjut, ia mengkritisi pendekatan yang hanya melihat nilai ekonomi dari perkebunan sawit tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. Dengan pendapatan Rp 400 triliun per tahun dari industri sawit, ia mempertanyakan apakah semua hal harus diukur hanya dengan uang.
“Ketika tetesan air terakhir telah Anda minum dan tak tersisa lagi di alam, maka triliunan rupiah di saku dan di saldo bank Anda tiada gunanya,” tulisnya, mengingatkan bahwa nilai ekonomi tidak dapat menggantikan sumber daya alam yang telah hilang.
Menurutnya, hutan memiliki manfaat yang tidak bisa diukur dengan uang, seperti pasokan oksigen, sumber air bersih, dan keberagaman tanaman obat yang dapat digunakan dalam dunia medis. Ia menegaskan bahwa nilai ekosistem hutan jauh lebih besar daripada sekadar perhitungan ekonomi.
Ajakan untuk Berdiskusi
Prof. Arya mengajak Presiden Prabowo dan para menterinya untuk berdiskusi lebih dalam dengan para ahli kehutanan, ekologi, sosiologi, dan antropologi agar dapat mengambil kebijakan yang lebih bijaksana dalam pengelolaan lingkungan.
“Kita bisa kembangkan sawit untuk pangan dan energi, tetapi tanpa harus membabat dan mengokupasi kawasan hutan. Pak Presiden harus anti terhadap deforestasi dengan segala dampak negatifnya, bukan sebaliknya,” ujarnya.
Ia juga memperingatkan bahwa jika Indonesia terus membiarkan deforestasi terjadi, negara ini bisa mendapat tekanan dari dunia internasional. Kebijakan yang tidak berpihak pada pelestarian hutan dapat membuat Indonesia dipandang negatif dalam forum global.
Sebagai penutup, Prof. Arya menegaskan bahwa menjaga hutan bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga merupakan perintah agama dan amanat UUD 1945. Ia berharap pemerintah dapat lebih serius dalam menjaga kelestarian hutan demi keberlanjutan lingkungan dan generasi mendatang.
Surat terbuka ini mendapat perhatian luas dari publik, termasuk kalangan akademisi dan aktivis lingkungan. Banyak pihak berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan terkait deforestasi dan memastikan bahwa kebijakan ekonomi tidak mengorbankan kelestarian lingkungan. (red)
Sumber: Surat Terbuka, Prof. Arya Hadi Dharmawan