Wilispost.com – Kasus tragis yang menimpa seorang mahasiswi asal Madura baru-baru ini mencerminkan betapa kelamnya realita kekerasan dalam hubungan, khususnya terhadap perempuan. Seorang perempuan yang tengah hamil dan meminta pertanggungjawaban dari pasangannya, justru dibalas dengan kekejian yang tak terbayangkan, dibacok dan dibakar hidup-hidup. Kejadian ini bukan hanya menyayat hati, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar yang mengguncang kita semua: seberapa efektifkah hukum dalam melindungi perempuan dari kekerasan?
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), namun kenyataannya, banyak sekali kasus kekerasan yang terjadi di luar lingkup rumah tangga, misalnya dalam hubungan pacaran, yang membuat korban kesulitan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam kasus ini, pelaku seharusnya dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan Berat atau bahkan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara. Jika unsur pembakaran terbukti, Pasal 187 KUHP juga bisa diterapkan, dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun atau seumur hidup. Sumber hukum ini tercatat dalam jdihn.go.id, tetapi kenyataannya, hukum sering kali berjalan begitu lambat, sementara korban terus bertambah, baik setiap hari, bulan, bahkan tahun.
Akar masalah yang mendalam, seperti budaya patriarki dan stigma sosial yang melekat pada perempuan, turut memperparah kondisi ini. Perempuan sering kali merasa terisolasi dan enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami, karena takut disalahkan atau dipandang sebelah mata dalam masyarakat. Padahal, kekerasan dalam hubungan apa pun, baik fisik, verbal, maupun psikologis, adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Sudah saatnya kita semua bergerak untuk menciptakan perubahan yang nyata. Edukasi mengenai hubungan yang sehat dan kesetaraan gender harus ditanamkan sejak dini kepada seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, kita sebagai warga negara harus lebih peduli dan aktif dalam melaporkan tanda-tanda kekerasan yang terjadi di sekitar kita, meski di tempat ramai sekalipun. Tidak kalah pentingnya, penegak hukum harus memberikan perlindungan maksimal kepada korban dan memastikan pelaku dihukum seberat-beratnya, tanpa ada toleransi atau pandangan berdasarkan status sosial.
Hukum ada untuk menegakkan keadilan, namun tanpa kesadaran kolektif yang kuat, tragedi serupa akan terus berulang. Jangan biarkan perempuan terus menjadi korban dalam ketidakadilan ini. Saatnya kita menciptakan ruang yang aman, bermartabat, dan penuh kasih bagi mereka yang telah lama terluka. Kini, lebih dari sebelumnya, kita harus bertindak untuk menghentikan kekerasan dan mewujudkan masyarakat yang penuh kesetaraan dan saling menghormati.
Subscribe to Updates
Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.
Copyright © 2024 KREASI ANAK GEMILANG. All Rights Reserved.